Paku Buwana IV atau
yang dijuluki sebagai Sunan Bagus merupakan raja ketiga Kasunanan Surakarta yang
memerintah pada tahun 1788-1820. Julukan Sunan Bagus diberikan terhadap Panu
Buwono IV disebabkan karena pada saat Beliau diangkat menjadi raja, Beliau
masih dalam usia muda dan berwajah sangat tampan. Nama aslinya adalah Raden Mas
Subadya, putra dari Paku Buwana III yang lahir dari permaisuri keturunan Demak
yaitu Gusti Ratu Kencana. Paku Buwana IV merupakan raja Surakarta yang berani
dan penuh dengan cita-cita mulia. Beliau merupakan pemeluk Islam yang taat.
Bahkan dalam pemerintahannya pun Paku Buwana IV banyak mengangkat para ulama.
Dalam bidang
sastra, Paku Buwono IV banyak sekali menulis karya sastra. Hasil karyanya
antara lain Serat Wulangreh, Serat Wulang
Sunu, Serat Wulang Putri, Serat Wulang Tata Krama, Donga Kabulla Mataram, Cipta
Waskitha, Panji Sekar, Panji Raras, Panji Dhadhap, Serat Sasana Prabu, dan Serat Polah Muna-Muni.
Salah satu karya
sastra yang ditulisnya yaitu Serat Wulang Sunu. Karya sastra ini berupa tembang
macapat yang terdiri dari dua pupuh, dalam pupuh pertama terdapat 12 bait,
sedangkan pupuh kedua terdiri dari 21 bait. Serat Wulang Sunu ditulis pada
tahun 1788-1820 di Keraton Surakarta. Dalam Serat Wulang Sunu ini, dijelaskan
bahwa bagaimana seharusnya perilaku anak terhadap orang tuanya, seperti yang tertulis pada pupuh pertama
serat ini. Pada pupuh petama Serat Wulang Sunu ini, dijelaskan bahwa pandangan
Paku Buwana IV terhadap kehidupan antara anak dan orang tuanya haruslah
harmonis, sebagai anak haruslah berbakti terhadap orang tuanya. Siapa yang
tidak berbakti akan mendapatkan petaka dan mendapatkan murka Tuhan, hingga ketika
meninggal nanti masuk ke dalam neraka. Masyarakat Jawa merupakan masyarakat
yang menjunjung tinggi unggah-unguh
dan etika dalam pelaksanaan kehidupannya. Terlebih unggah-ungguh dan etika anak kepada orang tua. Orang tua merupakan
perantara hidup manusia hingga dapat hidup di dunia. Untuk itu, tidaklah
sepantasnya kalau jasa orang tua yang telah merawat dari kecil dilupakan begitu
saja. Tanpa pamrih, orang tua merawat dan mendidik anaknya dengan penuh
kesabaran. Terlebih perjuangan seorang ibu yang sangatlah besar, bahkan sampai
nyawa pun ia pertaruhkan untuk melahirkan anak tercintanya. Sembilan bulan
bukan waktu yang singkat sampai tiba saatnya ibu melahirkan, setelah itu ibu
menyusui, dan mengajarkan banyak hal yang belum diketahui anaknya. Hal itu
dilakukannya dengan penuh harapan agar kelak anak tersebut dapat menjadi anak
yang berguna, namun tidak melupakan orang tuanya dan selalu berbakti kepadanya.
Jelaslah bahwa ini adalah pitutur yang
sangat luhur nilainya, dimana anak haruslah berbakti kepada orang tuanya dan
tidak boleh berlaku sewenang-wenang terhadap orang tuanya. Karena dengan perilaku
demikian anak akan mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan yang tidak hanya
diperoleh di dunia, namun juga kebahagiaan yang akan diperoleh di akhirat.
Karena ridha orang tua merupakan ridha Tuhan yang nyata.
Begitu banyak pitutur luhur yang terkandung dalam
Serat Wulang Sunu ini, diajarkan pula bagaimana kita bersikap terhadap sesama.
Ajaran dimana jika kita menginginkan sesuatu, janganlah terburu-buru untuk
mengambilnya. Pikirkanlah semuanya dengan cermat dan teliti. Jaga diri dengan
sebaik-baik bersikap terhadap orang lain. Jika diberi kuasa tidak akan berlaku
sombong, bersikaplah baik budi pekertinya. Seperti itulah perilaku yang utama
yang di ajarkan oleh Paku Buwono IV dalam tulisannya
Adanya Serat Wulang
Sunu ini sangatlah berguna, sebab di dalam Serat Wulang Sunu terkandung pitutur luhur yang patut untuk dijadikan pegangan bagi keberlangsungan
kehidupan bermasyarakat khususnya tentang ajaran bagaimana bersikap terhadap
orang tua dan terhadap sesama. Saat ini, bukan menjadi hal yang tabu lagi
bahwasannya banyak anak yang tidak lagi menghormati orang tuanya. Unggah-ungguh dan etika tidak lagi
menjadi perhatian utama dan pedoman untuk bersikap bagi mereka. Hal ini
disebabkan banyak pengaruh dari luar yang membuat mereka merasa hidup dalam aturan,
dikekang, dan tidak mendapatkan kebebasan. Hingga akhirnya mereka memberontak,
bahkan tidak segan ada yang berlaku kasar terhadap orang tuanya demi sesuatu
yang diinginkannya.
Perbedaan yang
sangat kontras antara sikap anak terhadap orang tuanya saat ini dibandingkan
dahulu jelas terlihat di sini. Sikap berbakti terhadap orang tua yang dahulunya
masih sangat dijunjung erat kini tidak lagi dilakukan. Walaupun tidak
kesemuanya berlaku seperti itu, namun ini menjadi suatu keprihatinan tersendiri
karena bukan hal yang mustahil jika bisa saja esok akan lebih memprihatinkan
dari pada saat ini.
#TA Ilmu Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar