“JENANG SURA” PADA PERAYAAN HARI ASYURA
DALAM KAJIAN SEMANTIK
DI DESA RANTEWRINGIN, KEBUMEN
Disusun untuk memenuhi tugas
akhir mata kuliah Semantik
Dosen Pengampu : Drs. Widodo
Disusun
oleh:
Tri Nurjanah
2601411131
Rombel 05
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
201
“Jenang Sura” pada Perayaan Hari Asyura
Dalam Kajian Semantik
Di Desa Rantewringin, Kebumen
ABSTRAK
Kata kunci: kajian
semantik, bulan sura, jenang sura
Semantik merupakan ilmu yang
mempelajari tentang arti makna. Chaer (2002:2) menyebutkan bahwa semantik
digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda
linguistik dengan hal yang ditandainya. Dengan kata lain, bidang studi dalam
linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa.
Salah
satu jenis semantik yaitu semantik budaya. Dalam semantik budaya ini
menjelaskan bagaimana makna budaya pada daerah-daerah tertentu dalam waktu
tertentu yang biasanya menggunakan simbol-simbol pada perayaan tradisi dalam
budaya tersebut. Budaya yang ada sampai saat ini masih banyak sekali jumlahnya.
Dalam budaya Jawa, terdapat banyak tradisi-tradisi yang sampai sekarang masih
dipertahankan.
Bulan
Sura bagi masyarakat Jawa merupakan bulan yang sakral, suci, bulan untuk
melakukan perenungan, tafakur, introspeksi diri, serta mendekatkan diri pada
Allah SWT. Kegiatan penyambutan bulan Sura sudah dilakukan sejak berabad-abad
tahun yang lalu. Kegiatan yang dilakukan berulang-ulang tersebut akhirnya
menjadi kebiasaan dan menjadi tradisi yang rutin dilakukan setiap tahunnya. Di
Desa Rantewringin, Kebumen, setiap tanggal 10 Sura atau yang biasa disebut
dengan hari Asyura, diperingati dengan mengadakan selamatan dan memanjatkan
doa-doa. Setelah pembacaan doa selesai, kemudian jamaah diberikan sajian berupa
bubur yang biasa disebut dengan jenang suro. Jenang suro disini sebagai simbol
kerendahhatian dan ringan tangan. Selain itu, juga sebuah cerminan ucapan
syukur tehadap Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya.
1. Latar Belakang
Dalam
budaya Jawa, terdapat banyak tradisi-tradisi yang sampai sekarang masih
dipertahankan. Salah satunya ialah perayaan menyambut tahun baru Jawa yang
biasa disebut dengan Suronan. Dalam Suronan ini, masyarakat Jawa
melaksanakannya dengan beraneka ragam perayaan.
Tahun
baru Jawa yang juga bertepatan dengan tahun baru Islam bagi masyarakat Jawa
biasa dirayakan dengan berbagai macam perayaan. Pada umumnya menjelang tahun
baru masyarakat melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak terlepas dari upaya
introspeksi diri dan harapan-harapan. Kegiatan tersebut tidak tidak hanya
dilakukan oleh kalangan orang berada, namun juga untuk kalangan yang bisa
dikatakan hidup pas-pasan. Dimulai dari upacara sedekah bumi, sekatenan, kirab
ageng, yang notabene dilakukan secara bersama-sama sampai dengan selamatan yang
dilakukan perindividunya. Perayaan tersebut dilaksanakan tanpa paksaan dan
sudah menjadi agenda rutin bagi sebagian besar masyarakat Jawa. Kegiatan
tersebut tentunya dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk mensyukuri anugerah dari
Tuhan Yang Maha Kuasa dan tidak terlepas dari harapan-harapan yang mereka
inginkan untuk tahun-tahun selanjutnya. Selain itu juga digunakan sebagai ajang
introspeksi diri terhadap tindakan-tindakan masa silam yang masih belum baik.
Bagi
masyarakat Jawa, kegiatan penyambutan bulan Sura sudah dilakukan sejak
berabad-abad tahun yang lalu. Kegiatan yang dilakukan berulang-ulang tersebut
akhirnya menjadi kebiasaan dan menjadi tradisi yang rutin dilakukan setiap
tahunnya. Itulah yang kemudian menjadi budaya dan sebuah ciri khas dari
masyarakat tersebut. Seperti kebiasaan yang ada di Desa Rantewringin, Kecamatan
Buluspesantren, Kabupaten Kebumen. Sudah menjadi agenda rutin setiap tahunnya
menggelar acara perayaan awal tahun baru Jawa yang juga bertepatan dengan tahun
baru Islam dengan mengadakan selamatan di masjid yang menyertakan Jenang Sura sebagai pelengkapnya. Jenang Sura yang digunakan sebagai
pelengkap perayaan ini dahulunya merupakan bentuk ucapan syukur umat Nabi Nuh
AS yang telah selamat dan bisa kembali berlabuh di daratan setelah 40 hari
terombang-ambing di lautan. Setelah sampai di daratan, Nabi Nuh AS menanyakan
pada umatnya, apakah masih tersisa bahan makanan untuk dimasak. Lalu mereka
mencampuradukkan bahan-bahan untuk dijadikan bubur dan disedekahkan kepada semua
orang.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
- Bagaimana kajian semantik terhadap jenang sura dalam perayaan asyura?
1.3 Tujuan Penelitian dan Metode Penelitian
Tujuan penelitian ini
adalah sebagi berikut:
- Mengetahui kajian semantik terhadap jenang sura dalam perayaan asyura.
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
- Dasar Penelitian
Dalam penelitian ini
menggunakan metode yang digunakan sebagai cara untuk mencapai tujuan penelitian
melalui proses berpikir. Penelitian yang dilakukan ini menyangkut
tradisi dalam masyarakat Jawa yang berhubungan langsung dengan penyelenggaraan tradisi yang
dilakukan pada hari Asyura. Data yang peneliti sajikan dalam
penelitian ini adalah bagaimana kajian semantik dalam jenang sura. Sehingga peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif.
- Deskripsi Lokasi Penelitian
Desa
Rantewrinngin yang terletak ±3 km dari garis pantai merupakan suatu desa yang
masih menjaga tradisinya. Mayoritas penduduk desa ini beragama Islam. Namun hal
tersebut tidak berpengaruh banya terhadap kelestarian budaya Jawa di dalamnuya.
Kepercayaan dan budaya masih tetap hidup berdampingan tanpa mengalahkan salah
satunya.
- Fokus Penelitian
Penelitian
ini penulis fokuskan terhadap kajian semantik pada jenang sura dalam perayaan
hari Asyura.
- Teknik Penelitian
Penulis
menggunakan teknik wawancara dalam penelitian ini. Narasumber adalah tokoh
masyarakat setempat yang mengetahui seluk beluk jenang sura.
1.4 Pembahasan
Semantik
merupakan ilmu yang mempelajari tentang arti makna. Chaer (2002:2) menyebutkan
bahwa semantik digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari hubungan
antara tanda-tanda linguistik dengan hal yang ditandainya. Atau dengan kata
lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam
bahasa. Salah satu jenis semantik yaitu semantik budaya. Dalam semantik budaya
ini menjelaskan bagaimana makna budaya pada daerah-daerah tertentu dalam waktu
tertentu yang biasanya menggunakan simbol-simbol pada perayaan tradisi dalam
budaya tersebut. Budaya yang ada sampai saat ini masih banyak sekali jumlahnya.
Dalam budaya Jawa, terdapat banyak tradisi-tradisi yang sampai sekarang masih
dipertahankan.
Bulan Sura bagi masyarakat Jawa
merupakan bulan yang sakral. Dimana bulan Sura merupakan awal tahun pada
kalender Jawa, yang dalam kalender Islam disebut bulan Muharram. Bagi
masyarakat Jawa, bulan Sura dianggap bulan yang suci, bulan untuk melakukan
perenungan, tafakur, introspeksi diri, serta mendekatkan diri pada Tuhan Yang
Maha Kuasa. Biasanya dilakukan dengan mengendalikan hawa nafsu, melatih hati
untuk ikhlas sehingga tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Demikianlah
esensi dari kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada bulan Sura.
Dalam
bulan Sura ini, banyak dilaksanakan perayaan-perayaan dan juga tradisi
turun-temurun oleh masyarakat Jawa. Untuk menghormati bulan yang sakral ini,
sebagian besar masyarakat Jawa melakukan tradisi syukuran atau ucapan
terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan rezeki, diantaranya
dengan melakukan larung sesaji di laut, sedekah bumi, labuhan di puncak gunung,
dsb. Selain itu, karena bulan Sura dianggap sebagai bulan yang baik untuk
mensucikan diri, maka sebagian masyarakat juga melakukan pembersihan terhadap
pusaka-pusaka yang mereka miliki.
Seperti
halnya dengan tradisi dan budaya yang lain, banyak diantara mereka yang
menggunakan kuliner sebagai simbol perayaannya. Contohnya saja, masyarakat
China yang identik dengan kue keranjang saat perayaan tahun baru China. Selain
itu, ada juga kebiasaan masyarakat Kristen Amerika Serikat saat perayaan Thanksgiving Day. Mereka akan menyajikan
daging kalkun sebagai simbol perayaannya. Perayaan hari Asyura di Desa
Rantewringin, Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen juga menyertakan kuliner
sebagai bentuk pelengkap dan simbol tradisi. Dalam perayaannnya, masyarakat
Desa Rantewringin yang notabene pemeluk agama Islam merayakannya dengan
melaksanakan selamatan di masjid. Biasanya dibagi dalam beberapa tahap. Untuk
anak-anak dirayakan pada sore hari seperti biasanya saat mereka mengaji di
Taman Pendidikan Al-qur’an. Sedangkan untuk para orang tua dilakukan malam
hari. Dalam perayaan ini, disertakan Jenang
Sura sebagai simbol dari ringan tangan, kemurahhatian dan ajaran untuk
berbagi atau bersedekah. Sebelum pembagian Jenang Sura ini, biasanya dilakukan
pengajian dan doa bersama. Jenang Sura yang terbuat dari beras ini dibuat dengan
mencampurkan beras dan santan serta sedikit garam, kemudian dalam penyajiannya
dilengkapi dengan irisan telur dadar, oseng-oseng tempe, kerupuk dan kecambah
di atasnya. Dahulunya, jenang sura merupakan bubur yang dibuat oleh umat Nabi
Nuh AS yang saat itu baru saja sampai di daratan setelah terombang-ambing di
lautan selama 40 hari. Sesampainya di darat, Nabi Nuh AS menanyakan kepada
umatnya apakah masih tersisa bahan pangan mereka. Sampai akhirnya mereka
menemukan sisa bahan pangan lalu mencampuradukkannya dan membuatnya menjadi
bubur. Setelah itu mereka membagikan bubur tersebut kepada semua orang.
Selain
itu, Jenang sura merupakan pengejawentahan rasa syukur umat manusia atas
keselamatan yang telah diberikan Allah SWT selama ini.
1.5 Simpulan dan Saran
Berdasarkan hasil analisis terhadap
Jenang Sura pada perayaan hari asyura di desa Rantewringin, Kebumen, dapat
disimpulkan bahwa Jenang Sura sebagai kuliner khas saat perayaan Asyura
memiliki arti simbolik bahwa jewang sura tersebut merupakan lambang dari
kemurahhatian, ringan tangan, dan ajaran untuk berbagi atau bersedekah. Jenang
sura juga sebagai wujud rasa syukur masarakat Jawa atas keselamatan yang telah
diberikan Allah SWT selama ini.
Adapun saran yang dapat disampaikan
penulis yaitu:
1. Masyarakat
seharusnya melestarikan tradisi yang sudah berlangsung sejak ribuan tahun ini.
2. Masyarakat
seharusnya lebih memaknai tradisi yang memiliki makna dan simbol yang sangat
mendalam ini.
3. Para Orang tua
seharusnya menjelaskan makna yang ada dalam Jenang Sura ini kepada anak-anaknya
agar anak-anaknya mengerti akan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar