Sabtu, 12 Juli 2014

“JENANG SURA” PADA PERAYAAN HARI ASYURA DALAM KAJIAN SEMANTIK



“JENANG SURA” PADA PERAYAAN HARI ASYURA
DALAM KAJIAN SEMANTIK
DI DESA RANTEWRINGIN, KEBUMEN
Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Semantik
Dosen Pengampu : Drs. Widodo





Disusun oleh:
Tri Nurjanah
2601411131
Rombel 05





FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
201

“Jenang Sura” pada Perayaan Hari Asyura
Dalam Kajian Semantik
Di Desa Rantewringin, Kebumen

ABSTRAK

Kata kunci: kajian semantik, bulan sura, jenang sura
           
            Semantik merupakan ilmu yang mempelajari tentang arti makna. Chaer (2002:2) menyebutkan bahwa semantik digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal yang ditandainya. Dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa.
Salah satu jenis semantik yaitu semantik budaya. Dalam semantik budaya ini menjelaskan bagaimana makna budaya pada daerah-daerah tertentu dalam waktu tertentu yang biasanya menggunakan simbol-simbol pada perayaan tradisi dalam budaya tersebut. Budaya yang ada sampai saat ini masih banyak sekali jumlahnya. Dalam budaya Jawa, terdapat banyak tradisi-tradisi yang sampai sekarang masih dipertahankan.
Bulan Sura bagi masyarakat Jawa merupakan bulan yang sakral, suci, bulan untuk melakukan perenungan, tafakur, introspeksi diri, serta mendekatkan diri pada Allah SWT. Kegiatan penyambutan bulan Sura sudah dilakukan sejak berabad-abad tahun yang lalu. Kegiatan yang dilakukan berulang-ulang tersebut akhirnya menjadi kebiasaan dan menjadi tradisi yang rutin dilakukan setiap tahunnya. Di Desa Rantewringin, Kebumen, setiap tanggal 10 Sura atau yang biasa disebut dengan hari Asyura, diperingati dengan mengadakan selamatan dan memanjatkan doa-doa. Setelah pembacaan doa selesai, kemudian jamaah diberikan sajian berupa bubur yang biasa disebut dengan jenang suro. Jenang suro disini sebagai simbol kerendahhatian dan ringan tangan. Selain itu, juga sebuah cerminan ucapan syukur tehadap Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya.



1. Latar Belakang
Dalam budaya Jawa, terdapat banyak tradisi-tradisi yang sampai sekarang masih dipertahankan. Salah satunya ialah perayaan menyambut tahun baru Jawa yang biasa disebut dengan Suronan. Dalam Suronan ini, masyarakat Jawa melaksanakannya dengan beraneka ragam perayaan.
Tahun baru Jawa yang juga bertepatan dengan tahun baru Islam bagi masyarakat Jawa biasa dirayakan dengan berbagai macam perayaan. Pada umumnya menjelang tahun baru masyarakat melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak terlepas dari upaya introspeksi diri dan harapan-harapan. Kegiatan tersebut tidak tidak hanya dilakukan oleh kalangan orang berada, namun juga untuk kalangan yang bisa dikatakan hidup pas-pasan. Dimulai dari upacara sedekah bumi, sekatenan, kirab ageng, yang notabene dilakukan secara bersama-sama sampai dengan selamatan yang dilakukan perindividunya. Perayaan tersebut dilaksanakan tanpa paksaan dan sudah menjadi agenda rutin bagi sebagian besar masyarakat Jawa. Kegiatan tersebut tentunya dilakukan oleh masyarakat Jawa untuk mensyukuri anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan tidak terlepas dari harapan-harapan yang mereka inginkan untuk tahun-tahun selanjutnya. Selain itu juga digunakan sebagai ajang introspeksi diri terhadap tindakan-tindakan masa silam yang masih belum baik.
Bagi masyarakat Jawa, kegiatan penyambutan bulan Sura sudah dilakukan sejak berabad-abad tahun yang lalu. Kegiatan yang dilakukan berulang-ulang tersebut akhirnya menjadi kebiasaan dan menjadi tradisi yang rutin dilakukan setiap tahunnya. Itulah yang kemudian menjadi budaya dan sebuah ciri khas dari masyarakat tersebut. Seperti kebiasaan yang ada di Desa Rantewringin, Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen. Sudah menjadi agenda rutin setiap tahunnya menggelar acara perayaan awal tahun baru Jawa yang juga bertepatan dengan tahun baru Islam dengan mengadakan selamatan di masjid yang menyertakan Jenang Sura sebagai pelengkapnya. Jenang Sura yang digunakan sebagai pelengkap perayaan ini dahulunya merupakan bentuk ucapan syukur umat Nabi Nuh AS yang telah selamat dan bisa kembali berlabuh di daratan setelah 40 hari terombang-ambing di lautan. Setelah sampai di daratan, Nabi Nuh AS menanyakan pada umatnya, apakah masih tersisa bahan makanan untuk dimasak. Lalu mereka mencampuradukkan bahan-bahan untuk dijadikan bubur dan disedekahkan kepada semua orang.

1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
  1. Bagaimana kajian semantik terhadap jenang sura dalam perayaan asyura?

1.3 Tujuan Penelitian dan Metode Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagi berikut:
  1. Mengetahui kajian semantik terhadap jenang sura dalam perayaan asyura.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
  1. Dasar Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan metode yang digunakan sebagai cara untuk mencapai tujuan penelitian melalui proses berpikir. Penelitian yang dilakukan ini menyangkut tradisi dalam masyarakat Jawa yang berhubungan langsung dengan penyelenggaraan tradisi yang dilakukan pada hari Asyura. Data yang peneliti sajikan dalam penelitian ini adalah bagaimana kajian semantik dalam jenang sura. Sehingga peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif.
  1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Desa Rantewrinngin yang terletak ±3 km dari garis pantai merupakan suatu desa yang masih menjaga tradisinya. Mayoritas penduduk desa ini beragama Islam. Namun hal tersebut tidak berpengaruh banya terhadap kelestarian budaya Jawa di dalamnuya. Kepercayaan dan budaya masih tetap hidup berdampingan tanpa mengalahkan salah satunya.
  1. Fokus Penelitian
Penelitian ini penulis fokuskan terhadap kajian semantik pada jenang sura dalam perayaan hari Asyura.
  1. Teknik Penelitian
Penulis menggunakan teknik wawancara dalam penelitian ini. Narasumber adalah tokoh masyarakat setempat yang mengetahui seluk beluk jenang sura.

1.4 Pembahasan
Semantik merupakan ilmu yang mempelajari tentang arti makna. Chaer (2002:2) menyebutkan bahwa semantik digunakan dalam bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Salah satu jenis semantik yaitu semantik budaya. Dalam semantik budaya ini menjelaskan bagaimana makna budaya pada daerah-daerah tertentu dalam waktu tertentu yang biasanya menggunakan simbol-simbol pada perayaan tradisi dalam budaya tersebut. Budaya yang ada sampai saat ini masih banyak sekali jumlahnya. Dalam budaya Jawa, terdapat banyak tradisi-tradisi yang sampai sekarang masih dipertahankan.
            Bulan Sura bagi masyarakat Jawa merupakan bulan yang sakral. Dimana bulan Sura merupakan awal tahun pada kalender Jawa, yang dalam kalender Islam disebut bulan Muharram. Bagi masyarakat Jawa, bulan Sura dianggap bulan yang suci, bulan untuk melakukan perenungan, tafakur, introspeksi diri, serta mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Biasanya dilakukan dengan mengendalikan hawa nafsu, melatih hati untuk ikhlas sehingga tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Demikianlah esensi dari kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada bulan Sura.
Dalam bulan Sura ini, banyak dilaksanakan perayaan-perayaan dan juga tradisi turun-temurun oleh masyarakat Jawa. Untuk menghormati bulan yang sakral ini, sebagian besar masyarakat Jawa melakukan tradisi syukuran atau ucapan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas limpahan rezeki, diantaranya dengan melakukan larung sesaji di laut, sedekah bumi, labuhan di puncak gunung, dsb. Selain itu, karena bulan Sura dianggap sebagai bulan yang baik untuk mensucikan diri, maka sebagian masyarakat juga melakukan pembersihan terhadap pusaka-pusaka yang mereka miliki.
Seperti halnya dengan tradisi dan budaya yang lain, banyak diantara mereka yang menggunakan kuliner sebagai simbol perayaannya. Contohnya saja, masyarakat China yang identik dengan kue keranjang saat perayaan tahun baru China. Selain itu, ada juga kebiasaan masyarakat Kristen Amerika Serikat saat perayaan Thanksgiving Day. Mereka akan menyajikan daging kalkun sebagai simbol perayaannya. Perayaan hari Asyura di Desa Rantewringin, Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen juga menyertakan kuliner sebagai bentuk pelengkap dan simbol tradisi. Dalam perayaannnya, masyarakat Desa Rantewringin yang notabene pemeluk agama Islam merayakannya dengan melaksanakan selamatan di masjid. Biasanya dibagi dalam beberapa tahap. Untuk anak-anak dirayakan pada sore hari seperti biasanya saat mereka mengaji di Taman Pendidikan Al-qur’an. Sedangkan untuk para orang tua dilakukan malam hari. Dalam perayaan ini, disertakan Jenang Sura sebagai simbol dari ringan tangan, kemurahhatian dan ajaran untuk berbagi atau bersedekah. Sebelum pembagian Jenang Sura ini, biasanya dilakukan pengajian dan doa bersama. Jenang Sura yang terbuat dari beras ini dibuat dengan mencampurkan beras dan santan serta sedikit garam, kemudian dalam penyajiannya dilengkapi dengan irisan telur dadar, oseng-oseng tempe, kerupuk dan kecambah di atasnya. Dahulunya, jenang sura merupakan bubur yang dibuat oleh umat Nabi Nuh AS yang saat itu baru saja sampai di daratan setelah terombang-ambing di lautan selama 40 hari. Sesampainya di darat, Nabi Nuh AS menanyakan kepada umatnya apakah masih tersisa bahan pangan mereka. Sampai akhirnya mereka menemukan sisa bahan pangan lalu mencampuradukkannya dan membuatnya menjadi bubur. Setelah itu mereka membagikan bubur tersebut kepada semua orang.
Selain itu, Jenang sura merupakan pengejawentahan rasa syukur umat manusia atas keselamatan yang telah diberikan Allah SWT selama ini.

1.5 Simpulan dan Saran
            Berdasarkan hasil analisis terhadap Jenang Sura pada perayaan hari asyura di desa Rantewringin, Kebumen, dapat disimpulkan bahwa Jenang Sura sebagai kuliner khas saat perayaan Asyura memiliki arti simbolik bahwa jewang sura tersebut merupakan lambang dari kemurahhatian, ringan tangan, dan ajaran untuk berbagi atau bersedekah. Jenang sura juga sebagai wujud rasa syukur masarakat Jawa atas keselamatan yang telah diberikan Allah SWT selama ini.
            Adapun saran yang dapat disampaikan penulis yaitu:
1. Masyarakat seharusnya melestarikan tradisi yang sudah berlangsung sejak ribuan tahun ini.
2. Masyarakat seharusnya lebih memaknai tradisi yang memiliki makna dan simbol yang sangat mendalam ini.
3. Para Orang tua seharusnya menjelaskan makna yang ada dalam Jenang Sura ini kepada anak-anaknya agar anak-anaknya mengerti akan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Daftar Pustaka


Tidak ada komentar:

Posting Komentar